Tradisi Yadnya yang Jor-joran Membebani Masyarakat

 


Dalam kehidupan umat Hindu, yadnya merupakan wujud bakti dan pengabdian suci kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesama manusia, dan alam semesta. Namun, dewasa ini pelaksanaan yadnya sering kali dipandang dari sisi besarnya biaya dan kemegahan acara. Fenomena “jor-joran” dalam yadnya justru menimbulkan masalah baru: beban sosial dan ekonomi masyarakat.

Yadnya Menjadi Ajang Gengsi

Tidak jarang sebuah upacara digelar dengan tujuan mempertahankan gengsi keluarga atau desa. Banten dibuat sebanyak mungkin, upacara digelar semegah mungkin, bahkan ada keluarga yang rela berhutang demi melaksanakan yadnya besar. Akibatnya, niat suci yang seharusnya membawa kedamaian berubah menjadi tekanan batin.

Padahal, dalam ajaran Hindu, yadnya tidak pernah diukur dari kuantitas persembahan. Bhagavad Gītā IX.26 menegaskan bahwa bahkan sehelai daun, seteguk air, atau sekuntum bunga yang dipersembahkan dengan penuh bhakti sudah diterima oleh Tuhan. Artinya, kualitas bhakti lebih utama dibandingkan kuantitas materi.

Esensi yang Terlupakan

Tradisi yadnya sejatinya adalah sarana penyucian diri dan pengikat kebersamaan. Namun, ketika pelaksanaan yadnya lebih menonjolkan kemewahan, makna spiritual perlahan hilang. Yadnya berubah menjadi ajang pamer, bukan lagi jalan menuju keseimbangan hidup.

Kitab Manava Dharmasastra mengingatkan bahwa yadnya hendaknya dilakukan sesuai kemampuan (yathā-śakti). Bila yadnya justru menimbulkan hutang atau beban berat, maka esensinya bertentangan dengan dharma itu sendiri.

Tingkatan Yadnya dalam Kehidupan

Dalam ajaran Hindu dikenal lima tingkatan yadnya (Panca Yadnya), yang bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat:

  1. Dewa Yadnya – persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi, bisa berupa canang sederhana atau upacara besar sesuai kemampuan.
  2. Rsi Yadnya – penghormatan kepada guru, pandita, dan leluhur, bisa berupa sikap hormat, belajar dengan sungguh-sungguh, hingga pelaksanaan upacara pitra yadnya.
  3. Pitra Yadnya – bakti kepada orang tua dan leluhur, bisa berupa doa sederhana, ngaturang canang, hingga pelaksanaan ngaben sesuai adat.
  4. Manusa Yadnya – yadnya bagi sesama manusia, bisa berupa menyambut kelahiran, pernikahan, memberi sedekah, atau sekadar menolong orang lain.
  5. Bhuta Yadnya – yadnya kepada alam dan makhluk lain, bisa berupa mecaru sederhana di rumah, menjaga kebersihan lingkungan, atau upacara besar di desa adat.

Tingkatan ini mengajarkan bahwa yadnya bisa dilaksanakan secara sederhana atau besar, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang terpenting bukanlah kemewahannya, melainkan ketulusan bhakti yang mendasarinya.

Menuju Yadnya yang Bijaksana

Masyarakat perlu merenungkan kembali makna yadnya. Yadnya yang sederhana, tulus, dan penuh makna jauh lebih bernilai dibanding yadnya yang berlebihan namun penuh keterpaksaan. Dengan mengedepankan kualitas, tradisi tetap lestari, masyarakat tidak terbebani, dan nilai spiritual semakin kuat.

Yadnya seharusnya menjadi sumber kedamaian, bukan sumber kesulitan. Jika kita mampu menempatkan yadnya secara bijaksana, maka warisan luhur ini akan tetap hidup dan diwariskan dengan bangga kepada generasi berikutnya

Post a Comment

أحدث أقدم