Pengertian Catur Varna Dalam Ajaran Hindu

Agama Hindu merupakan pengamalan ajaran Agama Hindu oleh penganutnya. Agama Hindu itu intinya sama di mana-mana, tetapi kemasan kebudayaannyalah yang berbeda-beda sesuai dengan keberadaan manusia penganutnya. Hal ini menyebabkan banyak dijumpai kesalahpahaman dalam penerapan ajaran suci Hindu terutama di Bali yang belum dipahami secara benar. Hal ini sangat nyata dijumpai dalam penerapan ajaran suci Hindu yaitu Catur Varna.

Kata varna sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti memilih. Di situ setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dasar yang digunakan acuan untuk menentukan Catur Varna adalah guna dan karma, hal ini sesuai dengan pernyataan yang ada dalam berbagai sumber kitab suci Hindu salah satunya Bhagawadgita.

Pengertian Catur Varna Dalam Ajaran Hindu


Pengertian Catur Varna  Dalam Ajaran Hindu

Tetapi dalam kenyataannya sekarang, Hindu di Bali menggunakan dasar sistem wangsa atau keturunan. Di Bali dapat dilihat dengan kasat mata pengaruh penerapan ajaran Agama Hindu khususnya ajaran Catur Varna sebagai salah satu sistem religi pada proses terbentuknya dan dinamika sistem sosial sebagai salah satu sistem kebudayaan.


Secara historis, kelahiran agama Hindu dilatarbelakangi dengan akulturasi kebudayaan antara bangsa Aria sebagai bangsa pendatang dan Iran, dengan bangsa Dravida sebagai penduduk asli India. Bangsa Aria masuk ke India kira-kira tahun 1500 SM. Dengan segala kepercayaan dan kebudayaan yang bersifat Vedawi, telah menjadi thesa di satu pihak, dan kepercayaan bangsa Dravida yang animisme telah menjadi antithesa di lain pihak. Dan sinkretisme antara keduanya, lahir agama Hindu (Hinduisme) sebagai sinthesa.


Berlatar belakang statusnya sèbagai bangsa pendatang, maka bangsa Aria merasa memiliki kelebihan daripada bangsa Dravida. Kedudukan bangsa Aria yang terdiri atas para brahmana ahli kitab itu, bagaimanapun tidak bisa disejajarkañ dengan orang-orang awam pada umumnya, sehingga tidaklah mengherankan jika dikemudian hari agama Hindu lebih banyak diwarnai oleh adanya klasifikas masyarakat penganutnya ke dalam kasta-kasta, yang melenceng dari konsep catur warna.


Sloka Catur Varna:


"cātur-varṇya mayā sṛṣṭaḿ

guṇ -karma-vibhāgaśaḥ

tasya kartāram api māḿ

viddhy akartāram avyayam," (Bhagavadgītā IV.13.)


Terjemahan:


"Catur Varna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan".



Pengertian Catur Varna


Kata “Catur Varna” dalam ajaran Agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata ‘catur dan varna’. Kata catur berarti empat . Kata varna berasal dari akar kata Vri yang berarti pilihan atau memilih lapangan kerja. Dengan demikian catur varna berarti empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadinya masing-masing atau empat pengelompokkan masyarakat dalam tata kemasyarakatan agama Hindu yang ditentukan berdasarkan profesinya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:177).


Catur varna membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi secara paralel horizontal. Varna ditentukan oleh guna dan karma. Guna adalah sifat, bakat dan pembawaan sesorang sedangkan karma artinya perbuatan atau pekerjaan. Guna dan karma inilah yang menentukan Varna seseorang. Alangkah bahagianya seseorang yang dapat bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya.


Pemahaman tentang Catur Varna dapat dijelaskan berdasarkan sastra drstha.Yang dimaksud pemahaman Catur Varna berdasarkan sastra drstha adalah pemahaman yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang Catur Varna menurut yang tersurat dalam kitab suci, sebagai berikuti;


"cātur-varṇya mayā sṛṣṭaḿ

guṇ -karma-vibhāgaśaḥ

tasya kartāram api māḿ

viddhy akartāram avyayam", (Bhagavadgita IV.13)


Terjemahan:


"Catur Varna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan".


Demikianlah kitab suci menyebutkan bahwa konsepsi tentang “Catur Varna” diciptakan oleh Sang Hyang Paramakawi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap orang yang lahir ke dunia ini sudah jelas memiliki dan membawa keahliannya masing-masing. Oleh karena itu di antara kita hendaknya mau dan mampu belajar untuk mengakui kemampuan dan profesional ciptaan Beliau secara jujur dan bertanggung jawab. Hindarkanlah diri kita masing-masing untuk mendiskriditkan sesama kita.


Pengertian Varna menurut pembawaan dan fungsinya dibagi menjadi empat berdasarkan kewajiban. Orang dapat mengabdi sebesar mungkin menurut pembawaannya. Di sini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta kasih dan keikhlasan sesuai dengan ajaran Agama Hindu.


"brāhmaṇ -kṣatriy -viśāḿ

śūdrāṇā ca parantapa

karmāṇ pravibhaktāni

svabhāva-prabhavair guṇai," (Bhagavadgītā XVIII. 41)


Terjemahan:


"O Arjuna, tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat, watak kelahirannya sebagaimana halnya Brahmana, Ksatria, Waisya, dan juga Sudra", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:178).


Pembagian kelas ini sebenarnya bukan terdapat pada Hindu saja, tetapi sifatnya adalah universal. Klasifikasinya tergantung dari tipe alam manusia, dari bakat kelahirannya. Masing-masing dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak selalu ditentukan oleh keturunan.



Di dalam Bhagavadgītā teori Varna sangat luas dan mendalam. Kehidupan manusia di luar, mewujudkan wataknya yang di dalam. Setiap makhluk mempunyai watak kelahirannya (swabhava) dan yang membuat efektif di dalam kehidupannya adalah kewajibannya (swadharma).


Keempat Varna ini memiliki hak yang sama dalam mempelajari Weda. Hal ini ditegaskan dalam kitab suci Yajurveda ke xxv. 2 sebagai berikut:


"Yatenam cvacam kalyanim

avadanijanebhyah brahma rajanyabhyah

cudraya caryaya ca svaya caranaya ca".


Terjemahan:


"Biar Kunyatakan di sini kata suci ini, kepada orang-orang banyak kepada kaum Brahmana, kaum Ksatriya, kaum Sudra dan bahkan kepada orang orangKu dan kepada mereka (orang-orang asing) sekalipun".


Kata suci yang dimaksudkan dalam kata ini adalah Weda Śruti yang boleh dipelajari oleh keempat golongan (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra) atau apapun golongannya. Jadi, Yajurveda memberikan penjelasan bahwa kedudukan masing-masing Varna dalam Catur ‘Varna dalam mempelajari Veda adalah sama. Tidak ada satu golonganpun yang ditinggalkan.


Dalam Rg Veda Mandala X, lahirnya Catur Varna ini diuraikan secara mitologis. Varna Brahmana diceritakan lahir dari mulut Dewa rahma, Ksatria dari tangannya, Weisya dari perutnya, sedangkan Sudra dari kakinya. Mitologi Rg Veda ini melukiskan bahwa semua arna adalah ciptaan Tuhan dengan fungsi yang berbeda-beda. Keterangan ini dipertegas dalam kitab suci Manawa Dharmasastra I, 87 sebagai berikut:


"Sarvasyāsya tu sargasya

guptyartham sa mahādyutih

mukhā bahū upajjānām

pŗthak karmānya kalpayat".


"Untuk melindungi alam ini, Tuhan Yang Maha Cemerlang menentukan kewajiban yang berlainan terhadap mereka yang lahir dari mulutnya, dari tangannya, dari pahanya. dan dari kakinya".


Jelas di sini yang dimaksud lahir dari mulut, tangan, paha dan dari kaki tiada lain adalah: Brāhmaṇa, Kṣatrya, Waiṣya, dan Śudra. Keempat Varna ini justru dibeda-bedakan fungsinya agar masyarakat dan dunia terlindung dari kehancuran. Ini menandakan fungsi-fungsi itu sama penting dalam memperoleh harkat dan martabatnya. Untuk menentukan Varna seseorang, bukanlah dilihat dari keturunannya tetapi benar-benar ditentukan oleh guṇ̣a dan karma seseorang, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:179).


Hal ini ditegaskan lagi dalam Mahabharata XII, 108. Sloka tersebut adalah sebagai berikut:


"Nayonir napi samskara nasrutam

naca santatih karanani

dwijatwasya wrttam

eva tukaranam".


Terjemahan:


"Bukan karena keturunan (Yoni), bukan karena upacara semata, bukan pula karena mempelajari Veda semata, bukan karena jabatan yang menyebabkan seseorang disebut dwijati. Hanya karena perbuatannyalah seseorang dapat disebut dwijati", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:180).


Referensi:

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti          Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Post a Comment

Previous Post Next Post