No title

BRATA SIWARATRI: MENDENGAR TETAPI TIDAK MERASA MENDENGAR, MERASA TETAPI TIDAK MERASA


Siwaratri, sebuah hari raya Hindu yang sangat agung dan penuh makna, sangat disayangkan bila dilewatkan begitu saja. Diantara hari suci lainnya, Siwaratri memang unik dan sangat berbeda, sangat menantang bagi para bhakta yang mau melakukannya. Betapa tidak, ada beberapa jenis brata yang memang tidah mudah untuk dilakukan, namun juga tidak sulit jika dilakukan dengan penuh kesadaran, semangat spirit dalam melakukan berbagai sadhana (disiplin spiritual) yang ada. Hari-hari raya yang lain terkesan lebih menonjolkan ritual, namun Siwaratri menuntut para bhakta untuk menyelami lautan spiritual yang memerlukan kemampuan pikiran untuk berenang hingga mencapai pantai realisasi diri. Adalah perlu dipertanyakan bila hari raya Siwaratri ternyata pemakaian sesajen/bebantenan masih cukup banyak, karena dalam Siwaratri lebih mengedepankan menggembleng the Self (Sang Diri) yang bersemayam dalam setiap diri kita sendiri. Disini penulis lebih ber-explore tentang bagaimana melalukan brata-brata Siwaratri, tentu yang berdasarkan pengalaman, tidak berdasarkan kata orang.


Upawasa

Upawasa, merupakan brata yang dilakukan dengan tidak/mengurangi makan dan minum. Bagi yang mampu bisa dilaksanakan dengan tidak makan dan minum sama sekali, namun bagi yang tidak mampu bisa dilaksanakan dengan mengurangi porsi makan, suatu contoh pada hari biasa makan sehari tiga piring maka saat Upawasa cukup makan sepiring saja, ini sebagai tahap awal atau tahap belajar. Ada yang mengatakan bahwa sadhana ini hendaknya dilakukan selama 24 jam, namun tidak menutup kemungkinan kurang dari itu dengan menyesuaikan kemampuan diri juga sebagai tahap pembelajaran. Apa konsekuensinya apabila perut kosong? Secara alami maka akan muncul rasa lapar dan haus. Perlu diketahui bahwa antara perut kosong karena belum makan alias lapar dengan perut kosong karena sedang melakukan Upawasa sangat berbeda. Perut kosong oleh karena belum/terlambat makan bisa menyebabkan penyakit, ini dikarenakan ada keinginan untuk makan dalam pikiran sehingga lambung terus mengeluarkan enzim pencernaan, dan pada kenyataannya pada saat itu belum ada yang dicerna karena belum makan, akibatnya lambung perih. Namun perut kosong oleh karena sedang Upawasa tidak akan menyebabkan penyakit, bila Upawasa tersebut memang dilakukan atas kesadaran dirinya sendiri, atas niat yang tulus sebagai sadhana spiritual. Ketika Upawasa dilakukan benar-benar atas dasar niat (bukan karena ikut-ikutan atau gagah-gagahan), ini berarti sama sekali tidak ada pemikiran untuk makan dan minum yang muncul dalam pikiran, karena tidak adanya pemikiran makan dan minum maka secara otomatis lambung tidak mengeluarkan enzim pencernaan dan berhenti melakukan gerakan meremas-remas, sehingga tidak akan ada luka lambung yang menyebabkan perih, lalu rasa lapar pun tidak ada. RASA LAPAR ADA KARENA ADA PEMIKIRAN MAKAN DALAM PIKIRAN.

    ketika sedang melakukan Upawasa pun agar tidak merasakan lapar dan tetap bertenaga adalah sangat mungkin. Ingatlah bahwa Pikiran adalah Rajendriya (rajanya indriya). Dengan pikiran, kita bisa memerintahkan indriya kita lainnya untuk off. Kita bisa mensugestikan pada diri sendiri pada saat Upawasa, misal dengan sugesti “Hai indriya pencernaan, hari ini aku sedang puasa, maka berhentilah bekerja sampai aku perintahkan kembali untuk bekerja” Rasa apapun yang muncul jangan sampai dianalisa atau dibawa ke pikiran, biarlah itu sekedar rasa yang tidak dirasakan (alias tidak dipikirkan). Agar badan tetap bertenaga maka bisa diatasi dengan melakukan pranayama, dalam kitab Yoga Sutra Patanjali dijelaskan bahwa dalam setiap tarikan nafas kita tidak hanya oksigen yang kita hirup, tetapi juga prana. Bahkan di dalam Atharva Veda prana dianggap sebagai Sang Hidup itu sendiri. Prana adalah energi vital yang terkandung dalam udara, karena prana yang kita hirup-lah badan kita bisa bekerja, kita bisa melihat, bisa mendengar, bisa berjalan, dan aktivitas apapun lainnya selalu membutuhkan tenaga (prana). Dalam pernafasan normal, prana yang kita hirup tidak terlalu banyak, namun dengan teknik pernafasan tertentu dalam pranayama maka kuantitas prana yang kita hirup bisa berlimpah, sehingga badan akan sangat bertenaga. Para pelaku sadhana spiritual banyak yang mengatakan bahwa pranayama akan lebih mudah dilakukan dan akan mencapai hasil yang lebih optimal bila dilakukan dalam keadaan perut tidak penuh atau kosong. Artinya, dalam melaksanakan Upawasa (tidak makan dan minum) dianjurkan untuk lebih banyak melakukan pranayama agar tubuh tetap kuat, sehat, dan bugar agar pikiran dan jiwa tetap dalam keadaan keseimbangan. Mengingat keselamatan rohani akan tercapai bila didukung oleh tubuh yang dalam keadaan kuat dan mental yang dalam keadaan sehat.


Monabrata 

Monabrata adalah suatu cara untuk mengendalikan perkataan (wacika) yang bertujuan melatih diri dalam hal berbicara agar biasa bicara dengan penuh pengendalian, sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Monabrata dilakukan dengan cara tidak berbicara sama sekali, baik verbal maupun non-verbal. Menggunakan isyarat dengan tangan atau bagian tubuh lainnya sudah termasuk dikatakan berbicara. Ada yang mengatakan sadhana ini hendaknya dilakukan selama 12 jam tanpa putus, namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara bertahap, misal 3 jam melakukan, lalu 2 jam berhenti, dan dilanjutkan 3 jam berikutnya hingga selesai. Lantas, bagaimana Monabrata yang sesungguhnya? Adalah DENGAN TIDAK BERBICARA MESKI DALAM PIKIRAN. Pernah di sebuah pura pada suatu Siwaratri seorang pemudi sedang melakukan Monabrata, menunjukkan secarik kertas berisi pesan tertulis yang berbunyi “mas, nitip tas ya saya mau ke kamar kecil”, saya hanya melihat tidak menanggapi apapun. MELIHAT TETAPI MERASA TIDAK MELIHAT. Meski itu adalah sebuah pesan yang ditulis, namun ini sudah termasuk berbicara, siapa yang berbicara?, pikiranlah yang berbicara, bila pikiran masih berbicara berarti belum pada tahap Monabrata. Namun, sebagai langkah awal atau tahap pembelajaran dalam menjalankan Monabrata maka bisa dilakukan dengan mengurangi bicara atau berkata-kata dengan orang lain. Ini bisa dilakukan ketika tidak bisa menjalankan Siwaratri secara full oleh karena terikat dengan kerja/aktivitas sehari-hari di tempat kerja. Tantangan dalam melaksanakan Monabrata memang cukup berat, sebelumnya kita tidak boleh memberitahu orang lain bahwa kita akan melakukan Monabrata dengan maksud agar orang lain tidak berbicara dengan kita. Ketika ada orang lain yang berbicara pada kita maka sudah seharusnya kita tidak menjawabnya, dan ini bisa saja menimbulkan keheranan pada orang yang berbicara tersebut, atau bahkan mungkin saja dia negatif thinking dengan kita yang sedang Monabrata karena tidak menjawab pembicaraanya. Nah, disinilah contohnya berbagai tantangan itu. MENDENGAR TETAPI TIDAK MERASA MENDENGAR. Telinga kita sudah pasti mendengar perkataan itu, namun yang penting adalah tidak membawa pendengaran itu ke dalam pikiran sehingga tidak ada analisa tentang pendengaran itu dalam pikiran yang bisa memunculkan pemikiran AKU SEDANG MENDENGAR. Apakah kita sanggup?  Sadhana ini sebaiknya dilakukan siang hari dan selesai pada malam hari karena pada malam hari harus dilanjutkan dengan Japa Seribu Nama Siwa. Monabrata menuntut keheningan dari seluruh indriya kita termasuk pikiran (rajendriya) yang merupakan rajanya indriya, hasilnya adalah keheningan jiwa, dengan pencapaian ini maka kita akan sampai pada realisasi diri.


Jagra 

Jagra adalah menjaga kesadaran diri kita yang dilaksanakan dengan cara tidak tidur sama sekali selama 36 jam. Inti dari Jagra adalah menjaga kesadaran diri terhadap Ilahi yang muaranya adalah pencapaian realisasi diri. Sebagai manusia kita harus menyadari berbagai hal dalam hidup ini, berbagai hal yang terjadi setiap hari terutama yang terjadi disekeliling diri kita. Bila setiap orang mempunyai kesadaran diri yang tinggi, maka hidup ini akan tertib, harmonis, dan damai; tidak akan ada permasalahan yang muncul dalam hidup bermasyarakat oleh karena setiap anggota masyarakat punya kesadaran. Contoh; sadar bahwa perkataan yang akan kita katakan kemungkinan bisa melukai orang lain sehingga kita mengurungkan untuk mengatakan itu, sadar bahwa memutar lagu-lagu dengan volume yang keras adalah mengganggu tetangga, sadar bahwa perilaku kita kemungkinan bisa membuat orang lain tidak senang dan tidak nyaman, sadar bahwa kita harus beryajna, sadar bahwa kita harus berpunia, dan sebagainya. Pada prinsipnya adalah dengan Jagra ini pada tingkatan awal kita didorong untuk memiliki kesadaran sosial yang tinggi, karena itu adalah modal yang penting dalam hidup bermasyarakat. Jagra dalam brata Siwaratri mengajarkan dan memerintahkan agar manusia ‘bangun’ dari tidurnya. Jagra, eling akan sang diri sejati, merupakan ajaran puncak dalam setiap ajaran kerohanian, dikatakan pula bahwa dengan jagra saja manusia sampai ke Siwaloka. Tentu yang dimaksudkan adalah jagra dalam arti kebangkitan dan kebangunan diri dari nyenyaknya tidur dalam selimut maya. Maya sebagai ciptaan triguna merupakan kekuatan sihir yang mahadasyat yang mengungkung kesadaran manusia dalam keterukuran nama dan rupa. Apabila manusia bisa keluar dari sihir maya maka ia akan memasuki kesadaran akan sang diri sejati.


Japa Seribu Nama Siwa

Japa Seribu Nama Siwa, sadhana ini sebaiknya dilakukan menjelang tengah malam sampai selesai. Pertanyaannya adalah apakah banyak yang melakukan sadhana ini? Survei yang dilakukan oleh penulis membuktikan amat sangat sedikit yang melakukan sadhana Seribu Nama Siwa ini. Setiap Maha Siwaratri penulis hampir selalu melakukan sadhana ini. Memang, untuk melantunkan Seribu Nama Siwa memerlukan waktu yang cukup panjang durasinya, yaitu antara 2,5 sampai 3,5 jam. Coba bayangkan Japa Seribu Nama Siwa tanpa henti bukanlah sadhana yang ringan, namun juga bukan sadhana yang berat kalau itu disertai dengan niat sebagai sadhana spiritual. Akan banyak sensasi yang kita rasakan selama kita mengucapkan itu, mulai dari sensasi bosan, sangat lelah, sangat letih, haus, badan pegal hingga sensasi penuh power, sensasi badan astral dan sensai melayang, dan sensasi yang penuh kedamaian. Orang bilang “Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.” Sudah tentu sensasi awal adalah berbagai sensasi yang sama sekali tidak mengenakkan, dan disinilah kita diuji apakah kita bisa bertahan atau tidak dengan berbagai sensasi yang tidak mengenakkan tersebut untuk tetap melanjutkan Japa Seribu Nama Siwa. Rasa lelah, letih, lesu, haus dan sebagainya adalah sangat alami sekali, ini oleh karena setiap lantunan nama Siwa pasti memerlukan tenaga untuk mengucapkannya, serta pada saat itu brata Upawasa tentu juga masih berlangsung, dan disinilah kita harus mahir dalam teknik pengucapannya juga disertai dengan pranayama agar kita tidak kehabisan tenaga yang bisa berujung pada keputusan untuk berhenti melakukannya. Sayang sekali kalau berhenti karena Janji Siwa sudah menunggu, yaitu untuk menganugerahkan kedamaian, kebahagiaan, melebur dosa-dosa, hidup sejahtera lahir batin, hidup berkelimpahan, dsb. Semua prinsip dalam Astangga Yoga harus dilakukan pada saat Japa Seribu Nama Siwa ini seperti, Asana (sikap duduk yang rilek), Pranayama (cara bernafas), Pratyahara (berusaha mempertahankan obyek dan tidak terganggu dengan apapun), Dharana (tingkat konsentrasi/teguh pada obyek), Dhyana (tingkat meditasi-bersatunya antara konsentrasi dan ideasi), terakhir adalah pencapaian yang sebenarnya yaitu samadhi,  suatu tingkat yang bukan sembarang orang yang mampu mencapainya, tentunya adalah mereka-mereka yang sudah mencapai kemurnian diri.  

Rahayu Sagung Dumadi

Oleh: Aguswi

Post a Comment

Previous Post Next Post