Bentuk, Fungsi, dan Jenis Padmasana Dalam Hindu

Bentuk, Fungsi, dan Jenis Padmasana Dalam Hindu

Pelinggih padmasana kerap kai ditemukan di pura dan pemerajan sanggah Umat Hindu Bali. Menurut lontar Dwijendra Tattwa padmasana adalah Linggih Sthana Ida Sang Hyang Widhi. Pelinggih berbentuk Padmasana ini dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghayang Niarta.

Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.
Padmasana


1. Sejarah Padmasana

Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa.

Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja.

Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari.
Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.

Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.

2. Pengertian Padmasana

Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.
Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya.

Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara.

Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.

Padmasana adlah konsep linggayoni sebelumnya,setelah dang hyang nirarta datang di percantik dgn sebuah bagunan bentuk candi,begitulah sedikit perkembangan padmasana sebagai simbol linggayoni /purusa dan predana laki prempuan atau ardenareswari.

3. Stana-Stana di Padmasana

Stana Sanghyang Siwa Raditya.

Dalam lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid terdiri dari para dewa. Diantaranya ada murid yang paling pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa Raditya dan berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.

Stana Bhatara Guru.

Sebagai rasa hormat dan terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru.

Stana Bhatara Surya.

Bhatara Siwa acintiya. Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara Siwa, lihatlah matahari karena mataharilah sebagai salah satu contoh asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di dunia bersumber dari kekuatan energi matahari.

Stana Sanghyang Tri Purusa.

Dalam Wrhaspati Tattwa, Sangyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa, yaitu: Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa. 

Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta.

Sadha-Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. 
Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud sebagai mahluk hidup.

4. Kelengkapan Niyasa Padmasana

a. Bedawangnala

Lontar Kaurawasrama menyebutkan, dasar gunung Mahameru adalah bedawangnala. Dalam bahasa Kawi, bedawangnala terdiri dari dua kata: beda artinya ruang, dan nala artinya api. Jadi bedawangnala artinya ruang yang berisi api atau magma.

Lontar Agni Purana (Kurma Awatara) menyebutkan adanya perang yang sengit antara para Dewa dengan para Detya. Dalam perang itu Dewa-Dewa dikalahkan. Para Dewa mohon agar Wisnu menyelamatkan. Bhatara Wisnu kemudian meminta kedua pihak yang berperang mengaduk lautan susu di mana gunung Mandara sebagai tangkai pengaduk dan Naga Basuki sebagai tali pengaduk.

Para Dewa memegang ekor naga dan para Detya memegang kepala naga. Tetapi ketika perputaran dimulai gunung Mandara yang tidak mempunyai dasar tenggelam ke dalam lautan susu. Bhatara Wisnu yang menjelma sebagai seekor kura-kura raksasa kemudian muncul untuk menyelamatkan gunung Mandara. Oleh karena itu bedawang di Bali dilukiskan sebagai kura-kura yang moncongnya menyemburkan api.

b. Naga

Lontar Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menyebutkan bahwa setelah bumi diciptakan oleh Bhatara Siwa dan Bhatari Uma lengkap dengan segala isinya maka pada suatu ketika terjadilah bencana, di mana tumbuh-tumbuhan mati, air menyurut dan udara mengandung penyakit.

Sanghyang Trimurti bermaksud menyelamatkan manusia. Brahma berwujud sebagai Naga Anantabhoga yang artinya ananta artinya tidak habis, bhoga artinya artinya sandang ,pangan,papan .berwarna merah berada di dalam inti bumi; Wisnu berwujud sebagai Naga Basuki yang berwarna hitam berada dalam laut, besuki artinya selamat ,sejahtera ,sentosa .dan Iswara berwujud sebagai Naga Taksaka yang berwarna putih bersayap berada di udara.

c. Garuda Wisnu

Di lontar Adi Parwa diceritakan sebagai berikut: Sang Kadru dan Sang Winata adalah istri-istri dari Bhagawan Kasyapa, Sang Kadru berputra naga yang ribuan banyaknya dan Sang Winata berputra Sang Aruna dan Sang Garuda. Pada suatu ketika keduanya membicarakan Uchaisrawa (kuda putih) yang keluar dari pemuteran gunung Mandaragiri.

Sang Kadru mengatakan warna kuda itu hitam, sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu putih. Karena sama-sama teguh mempertahankan pendapat akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa siapa yang kalah akan mejadi budak dari yang menang.

Para naga putra Sang Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih. Untuk memenangkan ibunya para naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga berwarna hitam. Sang Winata kalah lalu menjadi budak Sang Kadru. Anak Sang Winata, yakni Garuda, ingin membebaskan ibunya dari perbudakan.

Garuda kemudian bertanya kepada para naga, bagaimana cara membebaskan ibunya. Sang Naga memberi tahu agar ia mencari Tirta Amertha. Sang Garuda mencari tirta itu ke Sorga sampai berperang melawan para Dewa namun tidak berhasil.

Bhatara Wisnu yang iba pada nasib Garuda bersedia memberikan Tirta Amertha, namun dengan syarat agar Garuda mau menjadi kendaraan Bhatara Wisnu. Garuda bersedia, dan bersama Wisnu terbang mencari Tirta Amertha.

d. Angsa

Angsa adalah simbul ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul kesucian, ketelitian memilih makanan walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang busuk toh lumpur tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan memilih yang baik, di samping itu pula simbul kewaspadaan sebab baik siang maupun malam seolah-olah angsa tidak penah tidur.

Di lontar Indik Tetandingan disebutkan sayap angsa yang terkembang adalah simbul Ongkara: kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), badannya yang bulat lukisan windhu, leher dan kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbul nada.

e. Acintiya

Acintiya artinya tidak dapat dibayangkan. Namun niyasa Acintiya dilukiskan sebagai tubuh manusia telanjang dengan api di setiap sendinya serta kaki kanan yang terangkat, kepala tanpa bentuk wajah, dan sikap tangan dewa pratistha.

Niyasa itu bermakna: tubuh manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan Sanghyang Widhi yang utama; api di setiap sendi adalah simbol energi kehidupan; kaki kanan yang terangkat adalah simbol rotasi alam dan kehidupan yang aktif; kepala tanpa bentuk wajah adalah simbol dari keberadaan yang tidak dapat dibayangkan; sikap tangan dewa pratistha adalah simbol kecintaan Sanghyang Widhi pada hasil-hasil ciptaan-Nya.

5. Bentuk, Fungsi, dan Jenis Padmasana

Bentuk dan fungsi Padmasana ada 4, yaitu:
  • Padma Sari: mempunyai rong satu, tidak memakai Bedawangnala dengan palih telu. Stana Sanghyang Tripurusha
  • Padmasana: mempunyai rong satu, memakai Bedawangnala, dengan palih lima. Stana Bhatara Surya
  • Padma Agung: mempunyai rong dua, memakai Bedawangnala, dengan palih lima. Stana Sanghyang Siwa Raditya
  • Padma Angelayang: mempunyai rong tiga, memakai Bedawangnala, dengan palih pitu. Stana Bhatara Guru
  • Padma capah rong satu dgn palih 2 , palih taman dan di atas dsb palih capah, tidak memakai bedawang.
Jenis Padmasana berdasarkan lokasi menurut pengider-ider bhuana (penjuru mata angin) ada 9 jenis, yaitu:

1. Padma Kencana: di timur (menghadap ke barat)
Om Surya purwa basakaram sidhi
Heka jagatnakem surya sakti maha sidhyam
Jagat pranamya ngastungkaramya namo namah swaha

2. Padmasana: di selatan (menghadap ke utara)
Om Am Surya dewa dewi sujatyam jagad wiryam maha sidi
Prawiting ya namo namah swaha

3. Padmasana Sari: di barat (menghadap ke timur)
Om Om Surya dewam suksma dewatam
Sarwa dewa lokanam sidhi bektaram namo namah

4. Padmasana Lingga: di utara (menghadap ke selatan)
Om Mam Um Lingganyana,
Sarwa Surya jagad pranata
Suksama suci nirmala sudha
Wiryam nata sidhi yanamah
Sarwa phala masuktyam siwa kresna
Swrya Sidhyam namo namah

5. Padma Asta Sedana: di tenggara (menghadap ke barat laut)
Om Maha bukti sarwa phala suka wibhawa
Om Er suksma ya namo namah

6. Padma Noja: di barat daya (menghadap ke timur laut)
Om Mam surya sewana suksma muktyam
Jagat karem Durga dewi namo namh
Rudra mukti sada janam siwa ditya namo namah

7. Padma Karo: di barat laut (menghadap ke tenggara)
Om Am Sim Surya nama dewa pranata
Kalem surya ya namo namah

8. Padma Saji: di timur laut (menghadap ke barat daya)
Om Maha bukti sarwa phala suka wibhawa
Om Er suksma ya namo namah

9. Padma Kurung: di tengah merong tiga menghadap ke lawangan (pintu keluar)
Om Dewa sukaram dewam,
Dewa dewi namo namah
Sukle bhawen namo namah,
Jagad wiryam mamuktyam
ya narmodhi ya namo namah

Post a Comment

Previous Post Next Post