Kwangen Sebagai Simbol Ida Sang Hyang Widhi

Kwangen Sebagai Simbol Ida Sang Hyang Widhi

Kwangen berasal dari kata dasar "wangi" dalam bahasa jawa kuno yang artinya harum. Kemudian mendapatkan awalan 'ke' dan akhiran 'an' menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Jika dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol "Om kara" (Niken Tambang Rara, 2006:2)


"Om" adalah huruf suci, singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa kwangen yang memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum keharuman kwangen merupakan suatu pertanda atau isyarat agar umat atau bhakta senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan kwangen sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Sebagai simbolik Tuhan, tentunya 'kwangen' dibuat dengan bentuk yang indahdari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan adalah indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Dalam lontar Siwagama disebutkan bentuk kwangen sebagai simbol "om kara" dalam bentuk upakara, 'kwangen' memiliki ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bahwa lancip dan bagian atas mekar seperti bunga sedang berkembang. Kwangen biasanya terdiri dari ; kojong dari daun pisang, plawa, porosan, pis bolong, sampian kwangen, dan bungabunga harum yang ditusuk dengan semat. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan dan plawa dimasukkan kedalam kojong. Selanjutnya sampian kwangen, bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong. Kwangen digunakan sebagai sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara atau bebantenan. Kwangen paling banyak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai pelengkap dalam upara untuk upacara Panca Yandya.

Fungsi Kwangen

Fungsi yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu 'kwangen' dipegang atau dijepit pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun dan menghadap pada diri kita. Artinya 'kwangen' nyaman digunakan untuk sembahyang, tidak susah untuk dipegang, tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi. Keserasian antara bentuk dan fungsi mutlak harus dikondisikan. Keindahan suatu bentuk jangan sampai mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai mengganggu bentuk. Jika diperhatikan pada bagian badan 'kwangen' dibuat polos atau sederhana tanpa hiasan, hal ini untuk memudahkan untuk dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga keindahan bentuk jangan sampai terganggu akibat salah menggunakan atau memegang 'kwangen'. 

Keserasian bentuk dan fungsi 'kwangen' akan memberikan kepuasan bathin saat memandangi estetika 'kwangen' seperti dapat menimbulkan kesenangan, menyejukkan pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk sembahyang dapat memberikan kekushukan dan kesucian bathin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa estetika kwangen nampak pada bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas komposisi unsur-unsur yang indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Keindahan (estetika) kwangen memiliki keserasian bentuk dan fungsi sehingga nyaman digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin. 

Kwangen digunakan sebagai  sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara atau bebantenan. Kwangen paling banyak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya. 

1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap banten tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut. 

2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap banten tetebasan. 

3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya. 

4. Manusa Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonoin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten. 

5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macam, dan lain-lain

Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathun atau rohani bagi masyarakat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara "Omkara" dalam bentuk 'Kwangen' yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. "Kwangen" memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari 'kwangen' yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). "Kwangen" sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah "kwangen" dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang. 

 Unsur-Unsur Estetika Kwangen

1. Kojong kwangen Kojong kwangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan "Arda Candra", badan kojong melambangkan 'Suku Tunggal'. 

 2. Plawa Plawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketenangan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat mendukung estetika "kwangen". 

3. Porosan silih asih Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk 'kwangen'. 

4. Sampian kwangen Sampian kwangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kwangen sebagai simbol "Nada". Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kwangen. Sampian kwangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah 'kwangen'. 

5. Pis bolong Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan Sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari 'kwangen'. Uang kepeng simbol dari "Windu" (O), yaitu penyatuan Siwa Budha. 

6. Bunga Bunga yang digunakan adalah bunga yang berbau harum dan tidak layu. Bunga merupakan simbol dari rasa cinta kasih dan rasa bhakti. Contoh bunga yang digunakan adalah bunga jepun (kamboja), pacah (pacar air), sandat (kenanga), kembang kertas, dan lain-lain.

Post a Comment

Previous Post Next Post