18 Parwa Mahabharata (Asta Dasa Parwa)

Mahǎbhǎrata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah NegaraAstina. Puncaknya adalah Perang Bhǎratayuddha di Medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari. Kitab Mahǎbhǎrata merupakan salah satu itihǎsa yang terkenal. Kitab Mahǎbhǎrata berisi lebih dari 100.000 sloka. Mahǎbhǎrata berarti cerita keluarga besar Bharata. Kitab Mahǎbhǎrata memiliki delapan belas bagian yang disebut astadasaparwa (Subramanyam, 2003). Selayaknya Ramǎyana, setiap parwa merupakan buku tersendiri, namun saling berhubungan dan melengkapi dengan parwa yang lain. Kitab Mahǎbhǎrata disusun oleh Rsi Vyǎsa.



The  Russian  Academy   di   Moskow   telah   menerbitkan   terjemah-   an Adiparwa atau buku pertama epos Mahǎbhǎrata dalam bahasa Rusia di masa Perang Dunia II. Episode dan bagian-bagian tertentu epos Mahǎbhǎrata juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Perancis, Inggris, dan Jerman serta bahasa lainnya. Dalam Aswalayana Srautasutra disebutkan bahwa epos Mahǎbhǎrata versi awal terdiri dari 24.000 sloka. Versi tersebut terus berkembang hingga dalam bentuknya yang sekarang terdiri dari 100.000 sloka. Berikut ini merupakan ringkasan dari delapan belas bagian (parwa) dari epos Mahǎbhǎrata:

  1. Adiparwa (Buku Pengantar): memuat asal-usul dan sejarah keturunan keluarga Kaurawa dan Pandawa; kelahiran, watak, dan sifat Dritarastra dan Pandu, juga anak-anak mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan di antara dua saudara sepupu, yaitu Kaurawa dan Pandawa; dan berhasilnya Pandawa memenangkan Dewi Draupadi, putri kerajaan Panchala, dalam suatu sayembara.
  2. Sabhaparwa (Buku Persidangan): melukiskan persidangan antara kedua putra mahkota Kaurawa dan Pandawa; kalahnya Yudhistira dalam per- mainan dadu, dan pembuangan Pandawa ke hutan.
  3. Wanaparwa (Buku Pengembaraan di Hutan): menceritakan kehidupan Pandawa dalam pengembaraan di Hutan Kamyaka. Buku ini buku ter- panjang; antara lain memuat episode kisah Nala dan Damayanti dan pokok- pokok cerita Ramayana, (Suhardi dan Sudirga, 2015:67).
  4. Wirataparwa (Buku Pandawa di Negeri Wirata): mengisahkan kehidupan Pandawa dalam penyamaran selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa pembuangan mereka.
  5. Udyogaparwa (Buku Usaha dan Persiapan): memuat usaha dan persiapan Kaurawa dan Pandawa untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.
  6. Bhismaparwa (Buku Mahasenapati Bhisma): menggambarkan bagaimana balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-musuh mereka.
  7. Dronaparwa (Buku Mahasenapati Drona): menceritakan berbagai per- tempuran, strategi dan taktik yang digunakan oleh balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Drona untuk melawan balatentara Pandawa.
  8. Karnaparwa  (Buku  Mahasenapati  Karna):  menceritakan  peperangan  di medan Kurukshetra ketika Karna menjadi mahasenapati balatentara Kaurawa sampai gugurnya Karna di tangan Arjuna.
  9. Salyaparwa (Buku Mahasenapati Salya): menceritakan bagaimana Salya sebagai mahasenapati balatentara Kaurawa yang terakhir memimpin pertempuran dan bagaimana Duryodhana terluka berat diserang musuhnya dan kemudian gugur.
  10. Sauptikaparwa (Buku Penyerbuan di waktu malam): menggambarkan penyerbuan dan pembakaran perkemahan Pandawa di malam hari oleh tiga kesatria Kaurawa.
  11. Striparwa (Buku Janda): menceritakan tentang banyaknya janda dari kedua belah pihak yang bersama dengan Dewi Gandhari, permaisuri Raja Dritarastra, berduka cita karena kematian suami-suami mereka di medan perang.
  12. Shantiparwa (Buku Kedamaian Jiwa): berisi ajaranajaran Bhisma kepada Yudhistira mengenai moral dan tugas kewajiban seorang raja dengan maksud untuk memberi ketenangan jiwa kepada kesatria itu dalam menghadapi kemusnahan bangsanya.
  13. Anusasanaparwa (Buku Ajaran): berisi lanjutan ajaran dan nasihat Bhisma kepada Yudhistira dan berpulangnya Bhisma ke surgaloka.
  14. Aswamedhikaparwa (Buku Aswamedha): menggambarkan jalannya upa- cara Aswamedha dan bagaimana Yudhistira dianugerahi gelar Maharaja Diraja, (Suhardi dan Sudirga, 2015:68).
  15. Asramaparwa (Buku Pertapaan): menampilkan kisah semadi Raja Dritarastra, Dewi Gandhari, dan Dewi Kunti di hutan dan kebakaran hutan yang memusnahkan ketiga orang tersebut.
  16. Mausalaparwa (Buku Senjata Gada): menggambarkan kembalinya Balarama dan Krishna ke alam baka, tenggelamnya Negeri Dwaraka ke dasar samudera, dan musnahnya bangsa Yadawa karena mereka saling membunuh dengan senjata gada ajaib.
  17. Mahaprashthanikaparwa (Buku Perjalanan Suci): menceritakan bagai- mana Yudhistira meninggalkan takhta kerajaan dan menyerahkan singga- sananya kepada Parikeshit, cucu Arjuna, dan bagaimana Pandawa melakukan perjalanan suci ke puncak Himalaya untuk menghadap Batara Indra.
  18. Swargarohanaparwa (Buku Naik ke Surga): menceritakan bagaimana Yudhistira, Bhima,  Arjuna,  Nakula,  Sahadewa,  dan  Draupadi  sampai di pintu gerbang surga, dan bagaimana ujian serta cobaan terakhir harus dihadapi Yudhistira sebelum memasuki surga (Titib, 1998: 143), (Suhardi dan Sudirga, 2015:69).

Selain delapan  belas  parwa  tersebut,  sebuah  suplemen  yang  di  se-  but Hariwangsa ditambahkan kemudian. Suplemen ini memuat asal-usul kelahiran dan sejarah kehidupan Krishna secara panjang lebar. Tetapi ber- dasarkan penelitian, buku ini ternyata mengacu pada data yang masanya jauh sekali dari masa kehadiran parwa-parwa itu. Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahǎbhǎrata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah- olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis. 


Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tata cara, dan cita-cita yang berubah-ubah. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahǎbhǎrata seolah-olah benar-benar dilakukan oleh manusia (Mehta, 2007: 56).


Pentingnya epos Mahǎbhǎrata dapat kita ketahui dari peranan yang te-  lah dimainkannya dalam kehidupan manusia. Lima belas abad lamanya Mahǎbhǎrata memainkan peranannya dan dalam bentuknya yang sekarang, epos ini menyediakan kata-kata mutiara untuk persembahyangan dan me- ditasi; untuk drama dan hiburan; untuk sumber inspirasi penciptaan lukisan dan nyanyian. Epos ini juga menyediakan imajinasi puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan menyajikan suatu pola kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang dari Lembah Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis. 


Epos Mahǎbhǎrata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan. Epos ini juga menyatakan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahǎbhǎrata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahǎbhǎrata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra yang bersifat universal, (Suhardi dan Sudirga, 2015:69).


Referensi:

Suhardi, Untung dan Sudirga, Ida Bagus. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas IX (Cetakan Ke-1, 2015). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Post a Comment

أحدث أقدم